SUNARTO AS*
Kualifikasi pendakwah
atau dai yang di lontarkan Bayu Putra (Jawa Pos, 6 April 2015) patut
diapresiasi dan direspon oleh semua penggiat dakwah, khususnya pemerintah. Kualifikasi
dai dengan standart tertentu dan baku akan melahirkan dai-dai yang mumpuni atau
professional dan bisa melalukan aktivitas dakwahnya sesuai konteks ajaran
islam, yaitu “Rahmatan lil ‘alamin. Dakwah adalah semua upaya yang dilakukan
umat islam untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan perilaku yang islami
dalam konteks rahmatan lil ‘alamin. Jadi prinsip dakwah itu adalah kasih
sayang, bukan menimbulkan terror dan ketakutan apa lagi mengajak berperang dan
menganjurkan pembunuhan. Islam Indonesia adalah islam yang moderat, santun dan
penuh toleransi. Hal ini tidak lepas dari jasa para wali songo yang menyebarkan
islam di tanah jawa dengan metode dakwah kultutural yang sarat dengan
nilai-nilai toleran dan mengakomodasi budaya lokal yang hidup dan berkembang
saat itu. Para wali songo dalam menyebarkan islam sekaligus sebagai pedagang
paham betul tentang kondisi dan karakteristik masyarakat jawa sebagai mad’u
atau obyek dakwah yang dihadapinya, sehingga dakwahnya bisa diterima oleh
masyarakat luas dan menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Dan terbentuklah
islam Indonesia, yaitu islam “rahmatan lil ‘alamin”. Suasana penuh toleransi,
hidup rukun, saling tolong menolong sebagai ciri khas bangsa Indonesia,
akhir-akhir ini dicederai dengan munculnya gerakan radikalisme yang melakukan
teror, pengeboman, kasus bom Bali I dan bom Bali II yang dilakukan oleh Amrozi,
Imam Samudra dkk. Membuktikan bahwa islam Indonesia yang dulu terkenal moderat,
ramah, santun dan toleran, kini menimbulkan kesan generalisasi dikalangan luar menjadi
islam yang menakutkan. Setiap perilaku muslim adalah mencerminkan prilaku
seorang dai. Oleh karena itu setiap perilaku seorang muslim harus dilandasi
keimanan, ketaqwaan dan rasa kasih sayang antar sesama. Itulah cermin prilaku
seorang dai sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Firman Allah SWT, ”Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu Uswatun Hasanah (suri tauladan yang baik)
bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
ia banyak menyebut asma Allah.” (QS : Al Ahzab :21). Dengan meneladani
Rasulullah dalam berdakwah yang penuh toleransi dan kasih sayang, maka dakwah
akan dapat menciptakan suasana kehidupan yang penuh kedamaian. Bayu Putra
ketika menyamakan dakwah dengan seorang yang membaca berita, agaknya perlu
dikoreksi, “Banyak umat islam di Indonesia yang lupa bahwa dakwah sama dengan
orang yang menyampaikan berita,” tuturnya. (Dakwah Sambil Lalu, JP. 9 April
2015,hal. 2 opini) meskipun yang dimaksud adalah agar dakwah disampaikan secara
utuh dan tidak sepotong-potong, tetapi menyamakan dakwah dengan orang yang
membaca berita perlu diluruskan. Berdakwah dengan orang yang menyampaikan
berita sungguh jauh berbeda. Di dalam dakwah ada tanggung jawab moral, bahwa
apa yang disampaikan terlebih dahulu harus dilaksanakan oleh si dai. Jika dai
tidak melaksanakan apa yang disampaikan,maka dibenci oleh Allah SWT. Firman
Allah “Wahai orang-orang yang beriman,mengapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan. Sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu kerjakan” (QS : As Shaf : 2-3). Tidak demikian orang yang
menyampaikan berita, ia tidak dituntut melaksanakan apa yang disampaikannya.
Dakwah di
Indonesia saat ini sudah terlalu liberal, menurut Prof. Yanuar Ilyas
sebagaimana dikutip Bayu Putra (JP. 6 April 2015.) semua orang bisa melakukan
dakwah, sekalipun ia hanya mengusai satu ayat Al quran, bahkan sering kali “pendakwah”
menyampaikan ajaran islam hanya sepenggal dan tidak utuh. Ia menyampaikan
materi dakwahnya sesuai keinginan dan misi organisasinya. Karena tidak adanya
regulasi yang mengatur kualifikasi pendakwah, maka semua orang bisa
melakukannya sesuai selera keyakinan pribadi dan kelompoknya. Nah, di sinilah
perlunya serifikasi pendakwah atau dai, jika seorang yang berprofesi sebagai
guru TK saja harus memenuhi kualifikasi dan bersertifikasi sebagai guru,
apalagi dai, di mana obyek yang dihadapi adalah
masyarakat luas, maka sangat ironi jika mereka (dai) tidak
disertifikasi. Akibat belum adanya regulasi yang mengatur standart para dai,
kalu tidak dikatakan belum ada keberanian para penggiat dakwah dan pemerintah
dalam hal ini kemenag untuk melakukan sertifikasi para dai tersebut. Asosiasi
Profesi Dakwah Islam Indonesia Dalam kongresnya yang ke – II di Surabaya tahun
2009 dan kongres III di Makasar pernah melontarkan gagasan tentang sertifikasi
dai, agar supaya dakwah berjalan secara professional dan tidak sambil lalu dan
agar tidak tidak disusupi ajaran radikal. Dari para penggiat dakwah yang hadir
pada kongres APDI tersebut, baik yang praktisi dakwah, akademisi dakwah dan
unsur kemenag belum berani memutuskan tentang sertifikasi dai. Menurut penulis,
sertifikasi dai ini sangat penting, tentunya dengan standart yang jelas dan
terukur. Perumusan standart sertifikasi dai ini bisa melibatkan berbagai unsur
penggiat dakwah, baik pemerintah, MUI, ormas islam NU, Muammadiyah dan
akademisi dakwah (fakultas dakwah). Saat ini Kemenag telah mensyaratkan para
pemandu haji harus bersertifikasi, dengan mengikuti pelatihan sertifikasi haji,
Gelombang pertama dilakukan di UIN Semarang tahun 2012 dan tahun 2012 diadakan
di Asrama Haji sukolilo, dengan 100 perserta perwakilan KBIH dan ormas islam
dari Indonesia bagian timur dan Fakultas Dakwah UINSA Sebagai pelaksana dan
nara sumber. Jika seorang yang ingin menjadi guru TK saja dan pemandu haji
harus mempunyai kwalifikasi melaluli sertifikasi, masak dai sebagai pemandu
umat yang begitu luas, mereka tanpa kwalifikasi dan sertifikasi?
Munculnya
radikalisme, salah satu penyebabnya adalah karena adanya pembiaran terhadap
munculnya dai-dai sambil lalu dan para dai radikal yang begitu bebas melakukan
dakwahnya, meskipun materi yang disampaikannya menjurus kepada ajakan
“berjihad” secara sempit. Maka sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kemenag
agar punya keberanian mengatur para dai, dan semua penggiat dakwah dengan
melalui sertifikasi dai. Kalau tidak ingin negeri ini dipenuhi oleh para dai
sambil lalu yang radikal dan tidak memberi pencerahan kepada umatnya, bahkan
meresahkan dan membuat rasa takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar