Kamis, 09 April 2015

SERTIFIKASI DAI, AGAR DAKWAH TIDAK SAMBIL LALU


                SUNARTO AS*

Kualifikasi pendakwah atau dai yang di lontarkan Bayu Putra (Jawa Pos, 6 April 2015) patut diapresiasi dan direspon oleh semua penggiat dakwah, khususnya pemerintah. Kualifikasi dai dengan standart tertentu dan baku akan melahirkan dai-dai yang mumpuni atau professional dan bisa melalukan aktivitas dakwahnya sesuai konteks ajaran islam, yaitu “Rahmatan lil ‘alamin. Dakwah adalah semua upaya yang dilakukan umat islam untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan perilaku yang islami dalam konteks rahmatan lil ‘alamin. Jadi prinsip dakwah itu adalah kasih sayang, bukan menimbulkan terror dan ketakutan apa lagi mengajak berperang dan menganjurkan pembunuhan. Islam Indonesia adalah islam yang moderat, santun dan penuh toleransi. Hal ini tidak lepas dari jasa para wali songo yang menyebarkan islam di tanah jawa dengan metode dakwah kultutural yang sarat dengan nilai-nilai toleran dan mengakomodasi budaya lokal yang hidup dan berkembang saat itu. Para wali songo dalam menyebarkan islam sekaligus sebagai pedagang paham betul tentang kondisi dan karakteristik masyarakat jawa sebagai mad’u atau obyek dakwah yang dihadapinya, sehingga dakwahnya bisa diterima oleh masyarakat luas dan menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Dan terbentuklah islam Indonesia, yaitu islam “rahmatan lil ‘alamin”. Suasana penuh toleransi, hidup rukun, saling tolong menolong sebagai ciri khas bangsa Indonesia, akhir-akhir ini dicederai dengan munculnya gerakan radikalisme yang melakukan teror, pengeboman, kasus bom Bali I dan bom Bali II yang dilakukan oleh Amrozi, Imam Samudra dkk. Membuktikan bahwa islam Indonesia yang dulu terkenal moderat, ramah, santun dan toleran, kini menimbulkan  kesan generalisasi dikalangan luar menjadi islam yang menakutkan. Setiap perilaku muslim adalah mencerminkan prilaku seorang dai. Oleh karena itu setiap perilaku seorang muslim harus dilandasi keimanan, ketaqwaan dan rasa kasih sayang antar sesama. Itulah cermin prilaku seorang dai  sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Firman  Allah SWT, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu Uswatun Hasanah (suri tauladan yang baik) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut asma Allah.” (QS : Al Ahzab :21). Dengan meneladani Rasulullah dalam berdakwah yang penuh toleransi dan kasih sayang, maka dakwah akan dapat menciptakan suasana kehidupan yang penuh kedamaian. Bayu Putra ketika menyamakan dakwah dengan seorang yang membaca berita, agaknya perlu dikoreksi, “Banyak umat islam di Indonesia yang lupa bahwa dakwah sama dengan orang yang menyampaikan berita,” tuturnya. (Dakwah Sambil Lalu, JP. 9 April 2015,hal. 2 opini) meskipun yang dimaksud adalah agar dakwah disampaikan secara utuh dan tidak sepotong-potong, tetapi menyamakan dakwah dengan orang yang membaca berita perlu diluruskan. Berdakwah dengan orang yang menyampaikan berita sungguh jauh berbeda. Di dalam dakwah ada tanggung jawab moral, bahwa apa yang disampaikan terlebih dahulu harus dilaksanakan oleh si dai. Jika dai tidak melaksanakan apa yang disampaikan,maka dibenci oleh Allah SWT. Firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman,mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS : As Shaf : 2-3). Tidak demikian orang yang menyampaikan berita, ia tidak dituntut melaksanakan apa yang disampaikannya.
Dakwah di Indonesia saat ini sudah terlalu liberal, menurut Prof. Yanuar Ilyas sebagaimana dikutip Bayu Putra (JP. 6 April 2015.) semua orang bisa melakukan dakwah, sekalipun ia hanya mengusai satu ayat Al quran, bahkan sering kali “pendakwah” menyampaikan ajaran islam hanya sepenggal dan tidak utuh. Ia menyampaikan materi dakwahnya sesuai keinginan dan misi organisasinya. Karena tidak adanya regulasi yang mengatur kualifikasi pendakwah, maka semua orang bisa melakukannya sesuai selera keyakinan pribadi dan kelompoknya. Nah, di sinilah perlunya serifikasi pendakwah atau dai, jika seorang yang berprofesi sebagai guru TK saja harus memenuhi kualifikasi dan bersertifikasi sebagai guru, apalagi dai, di mana obyek yang dihadapi adalah  masyarakat luas, maka sangat ironi jika mereka (dai) tidak disertifikasi. Akibat belum adanya regulasi yang mengatur standart para dai, kalu tidak dikatakan belum ada keberanian para penggiat dakwah dan pemerintah dalam hal ini kemenag untuk melakukan sertifikasi para dai tersebut. Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia Dalam kongresnya yang ke – II di Surabaya tahun 2009 dan kongres III di Makasar pernah melontarkan gagasan tentang sertifikasi dai, agar supaya dakwah berjalan secara professional dan tidak sambil lalu dan agar tidak tidak disusupi ajaran radikal. Dari para penggiat dakwah yang hadir pada kongres APDI tersebut, baik yang praktisi dakwah, akademisi dakwah dan unsur kemenag belum berani memutuskan tentang sertifikasi dai. Menurut penulis, sertifikasi dai ini sangat penting, tentunya dengan standart yang jelas dan terukur. Perumusan standart sertifikasi dai ini bisa melibatkan berbagai unsur penggiat dakwah, baik pemerintah, MUI, ormas islam NU, Muammadiyah dan akademisi dakwah (fakultas dakwah). Saat ini Kemenag telah mensyaratkan para pemandu haji harus bersertifikasi, dengan mengikuti pelatihan sertifikasi haji, Gelombang pertama dilakukan di UIN Semarang tahun 2012 dan tahun 2012 diadakan di Asrama Haji sukolilo, dengan 100 perserta perwakilan KBIH dan ormas islam dari Indonesia bagian timur dan Fakultas Dakwah UINSA Sebagai pelaksana dan nara sumber. Jika seorang yang ingin menjadi guru TK saja dan pemandu haji harus mempunyai kwalifikasi melaluli sertifikasi, masak dai sebagai pemandu umat yang begitu luas, mereka tanpa kwalifikasi dan sertifikasi?

Munculnya radikalisme, salah satu penyebabnya adalah karena adanya pembiaran terhadap munculnya dai-dai sambil lalu dan para dai radikal yang begitu bebas melakukan dakwahnya, meskipun materi yang disampaikannya menjurus kepada ajakan “berjihad” secara sempit. Maka sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kemenag agar punya keberanian mengatur para dai, dan semua penggiat dakwah dengan melalui sertifikasi dai. Kalau tidak ingin negeri ini dipenuhi oleh para dai sambil lalu yang radikal dan tidak memberi pencerahan kepada umatnya, bahkan meresahkan dan membuat rasa takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar